Rabu, 12 Maret 2014

We’re gonna fix it together, remember?

 diambil dari pinterest.com

Aku tahu, berapa kecemasan yang mampir di kepalamu, ketika tak ada satu suratpun yang beralamat kepada dirimu. Untuk menuliskan isi kepala, tentu saja mudah. Tapi aku hanyalah manusia biasa, yang kerap sukar mengartikan rasa melalui kata-kata.
Kita enggan menetapkan tanggalan, sebab, menghitung rasa tidak memerlukan angka. Angka-angka yang akan selalu menunjukkan, betapa muda waktu berusia; bukan betapa dalam rasa yang kita punya. Entahlah, sayang. Sebulan saja serupa wajah setahun dengan banyak warna. Kita mungkin bukan seniman yang mahir melukiskan senyuman di wajah, tapi kita tahu mengapa warna memiliki nilai tanpa label harga.
Delapan ratus tujuh belas kilometer jeda di antara raga kita –dan kau tahu– ini tak akan pernah mudah. Kita akan selalu jengah, jika menghitung jarak lengkap dengan angka-angka di tanggalan.
Sayang,
Maafkan jika lidahku kerap memilih nada tinggi untuk sebuah peduli, atau terkadang mengunyah kata-kata di lidahku sendiri.  Entahlah, kau serupa aku di sebuah cermin –dengan pecahan emosi yang kerap kita dustai. Bukankah dulu, kita bahkan tak bernyali memiliki hati? Untuk memberi apalagi mencintai. Mungkin, itu sebabnya Tuhan memberi banyak kesempatan di tangan kita, agar kita lebih banyak melipat doa di dalamnya; agar kita mampu menjaga apa yang ada sebelum tiada; atau agar kita mempercayai – lagi– detak yang kita pikir telah lama mati.
Dunia –seperti yang kautahu– enggan menoleh ke arah kita. Di kepala mereka, mungkin kita hanya selewat musim ganjil  yang mati saat pagi. Mereka tak pernah tahu, seberapa banyak doa yang kita balur di luka masing-masing; atau bagaimana kita mengikhlaskan kemarin untuk hari ini dan jutaan nanti. Biar saja.
Kita tak sedang bermimpi, perihal pagi dengan dua cangkir yang saling penuh terisi, serta sepotong roti atau kecupan manis di pelipis; atau perihal sore dengan buku di tangan masing-masing, kita akan bicara banyak dalam diam, dan isi buku ialah apa yang membuat lidah berfungsi sempurna selain ciuman. Aku anggap itu adalah doa yang membuat dada kita berima sama.
Terima kasih untuk tetap pulang. Jika salah satu di antara kita lelah, bisakah kita saling mengingatkan; mengapa Tuhan menciptakan ‘kita’?
We’re gonna fix it together, remember?

Jakarta, 2014.
-Perempuan yang menanti pagi-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar